Minggu, 02 Desember 2012

DPR Versus Mahasiswa


DPR Versus Mahasiswa
Yasmi Adriansyah ;  Kandidat PhD School of Politics
and International Relation ANU, Canberra
REPUBLIKA, 01 Desember 2012


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali meng hangatkan wacana. Episode kali ini adalah DPR versus mahasiswa di luar negeri. 

Pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie bahwa mahasiswa Indonesia di Jerman seperti maling telah tersebar luas di dunia maya. Pernyataan tersebut disampaikan sebagai respons atas `laporan' Perhimpunan Pelajar Indonesia di Berlin yang belum lama ini memantau kunjungan studi banding DPR ke Jerman.

Sekalipun Marzuki sudah meluruskan pernyataannya, tak pelak kontroversi telah tersemai. Pernyataan Marzuki yang notabene ketua sekaligus juru bicara (speaker) DPR telah memantik isu ini menjadi polemik atau bahkan perseteruan terbuka dengan mahasiswa, khususnya yang tengah menuntut ilmu di luar negeri. Hal ini patut disayangkan mengingat DPR seyogianya berperan sebagai wakil rakyat dan bukan sebaliknya, `menyerang rakyat'.

Selaku mahasiswa yang tengah menuntut ilmu di luar negeri, saya kira ada beberapa hal dari pernyataan Marzuki yang perlu diluruskan. Pertama, Marzuki berpendapat bahwa jika DPR tidak diperkenankan ke luar negeri untuk melakukan studi banding, seharusnya mahasiswa Indonesia pun tidak perlu belajar di luar negeri. Terlebih, di dalam negeri sudah banyak sekolah yang bagus.

Ihwal pertanggungjawaban

Pernyataan ini sejatinya berada di luar konteks. Saya percaya tidak ada mahasiswa yang melarang anggota DPR pergi ke luar negeri, apalagi untuk melakukan kajian demi kemaslahatan rakyat. Permasalahannya adalah kerapkali studi banding DPR terkesan seadanya, kurang persiapan, dan bahkan sekadar `memfasilitasi' keinginan berwisata ke luar negeri. Jika ditelisik dari berbagai `laporan', kasus kunjungan ke Jerman ini semakin menegaskan argumentasi tersebut.

Di sisi lain, keinginan belajar adalah hak siapa pun, termasuk ke luar negeri. Terlepas dari baiknya kualitas pendidikan di dalam negeri, tetap ada banyak hal yang bisa dipelajari dari luar negeri, khususnya di negara-negara maju. Selain itu, kepergian pelajar Indonesia ke luar negeri sebagian besar tidak menggunakan uang rakyat atau seperti diklaim Marzuki, menghambur- hamburkan devisa. 

Mahasiswa yang berkemampuan finansial pas-pasan namun cerdas biasa- nya mendapatkan beasiswa dari negara penerima. Adapun mahasiswa yang meng- gunakan biaya sendiri kerap kali berasal dari keluarga yang mampu sehingga pembiyaan mereka pun bersifat privat. 

Di sisi lain, studi banding DPR jelas menggunakan uang rakyat yang bisa dipastikan jumlahnya sangat besar un tuk ukuran masyarakat Indonesia.
Karena itu, menjadi sahih ketika rakyat bertanya kepada DPR bagaimana mereka menggunakan uang dimaksud.

Kedua, Marzuki mengatakan bahwa kunjungan DPR sangatlah penting mengingat hal ini menyangkut undang-undang yang akan berdampak pada kehidupan publik. Secara umum, tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut.

Namun, perlu menjadi perhatian DPR bahwa publik Indonesia pada masa kini teramat kritis, khususnya terhadap aspek akuntabilitas, kinerja, atau bahkan prestasi dari lembaga-lembaga negara. Dalam konteks dimaksud, perlu ada refleksi dari DPR apakah aspek-aspek akuntabilitas dan kinerja sudah dijalankan atau bahkan mencapai penilaian baik. 

Permasalahannya, publik lebih sering terekspose dengan berita-berita negatif, seperti skandal korupsi, menonton video porno dalam persidangan, atau bahkan rendahnya tingkat kehadiran di dalam sidang (yang notabene merupakan tugas utama DPR). Belum lagi, jika ditelaah mengenai minimnya prestasi, khususnya diskrepansi antara target dan capaian legislasi yang bahkan kurang dari 50 persen. 

Dalam hal ini, seyogianya DPR dapat lebih aktif menyuarakan keberhasilan mereka dalam dimensi apa pun. Penulis percaya bahwa masyarakat Indonesia sudah sangat letih mendengar berita-berita negatif tentang DPR. Bisa jadi ada anggota DPR yang memiliki kinerja baik atau bahkan berprestasi di atas rata-rata. Namun, jika hal tersebut tidak di- sebarluaskan dan justru tenggelam oleh kinerja negatif, berarti memang ada masalah serius di dalam lembaga terhormat ini. Karena itu, menjadi wajar jika publik selalu bersikap kritis.

Ketiga, Marzuki mengkritik mahasiswa di Jerman seperti maling. Tidak lama setelah itu, Marzuki meluruskan pernyataannya bahwa bukan mahasiswanya yang seperti maling, tapi kegiatan menguntitnya. Terlepas dari permainan kata-kata khas para politikus, kiranya perlu diingatkan bahwa anggota DPR atau bahkan sang ketua itu sendiri adalah sosok terhormat yang sangat perlu menjaga sikap dan kata-kata. 

Iktikad Baik

Pernyataan Marzuki tersebut, menurut hemat saya, amat tidak elok dan justru merendahkan kapasitas yang bersangkutan sebagai ketua dari lembaga terhormat. Mahasiswa Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri, adalah sebuah segmen masyarakat yang notabene diharapkan terus bersuara kritis terhadap pengelolaan negara.

Mahasiswa Indonesia seyogianya memiliki kadar intelektualitas dan aktif mengedepankan pelbagai bentuk aktivisme yang bisa mengoreksi penyimpangan tata kelola negara. Karena, suatu hari, mereka pun diharapkan dapat meneruskan tampuk kepemimpinan di negeri ini.

Mengkritik upaya mahasiswa yang sejatinya berusaha mengawasi jalannya pengelolaan negara seakan membawa negeri ini ke era Orde Baru dengan segala kebijakan represifnya. Saya percaya Marzuki dan DPR tidak menginginkan hal itu. Karena, jika era tersebut berulang, Indonesia akan kembali ke dalam zaman kelam kehidupan bernegara.

Sebagai konklusi, kiranya Marzuki dan DPR tidak terlalu perlu meradang atas sikap dan pergerakan mahasiswa di luar negeri. Jadikan kritik mereka sebagai masukan konstruktif. Jadikan mereka sebagai mitra dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Jadikan kritisisme mereka sebagai bentuk kepedulian atas negeri. Bukankah para anggota DPR yang terhormat dulunya pernah menjadi mahasiswa atau bahkan pernah menuntut ilmu di luar negeri?
Wallahua'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar